Di celah jari kaki pabrik
padi nan cebol
mati2an memeluk sejumput tanah terakhir
Jangkar akarnya
lelah menganga
Dari dalam lumpur, tangan yang marah hendak
mengkais keluar kicau burung suara serangga
Dari hamparan sinar surya yang benderang
kulihat daun padi
membusungkan punggung
Satu persatu batang bunga padi tumbuh meninggi
Butir padi penuh bubur senyum di tengah angin musim panas
berbicara dengan diriku
Dari dalam lautan samudra nan bising dan resah
kupilin keringkan diri seketika
seperti sepotong putih kemeja
Kemarin tak pernah terpikir olehku
di Dongguan
ku ternyata bersua sejumput sawah
Bunga padi hijau kekuningan
terus bergoyang di antara
sekejab gembira dan duka
人民
Rakyat
Para buruh yang menagih gaji itu. 148 pasang telapak tangan cacat
yang menjulur keluar dari tambang batu bara Daping itu.
Li Aiye yang menjual darah tertular Aids.
Jomblo yang mengembala domba di bukit tanah kuning.
Wanita panjang mulut yang mencolek air liur menghitung uang.
Gadis salon, pekerja sex tak berlesensi.
Pedagang kecil yang bergrelya dengan satgas pemda.
Juragan kecil yang
butuh bersauna.
Mereka pekerja kantor yang bersepeda.
Mereka yang keluyuran tak punya kerja.
Mereka gelandang di rumah bar. Kakek tua yang
sambil nyeruput teh sambil menggoda burung.
Kaum cendekia yang membuat orang pusing tujuh keliling.
Pemabok, penjudi, tukang angkut
salesmen, petani, guru, tentara
anak emas Boss, pengemis, dokter, sekretaris (merangkap gula gula )
yang baunya menyengat itu
juga badut di instansi ataupun
pemeran pembantu.
Dari jalan Chang'an hingga bolevar Guangzhou
musim dingin ini aku belum bersua "Rakyat"
Hanya melihat banyak tubuh yang bicara dengan lirih dan hina
setiap hari duduk di angkutan umum
saling mencuri hangat.
Seperti uang receh yang kotor
dan penggunanya - berkerut dahi - menyodorkan mereka ke - Masyarakat.
杨克的当下状态
Kondisi Yang Ke Saat Ini
Di kedai Bir makan seporsi steik lada hitam
kemudian memanggil Taxi, kemudian
melewati kaki lima berwarna warni.
Di selatan yang tak mengenal malam
menyaksikan uang menjalin fiksi cinta dengan gadis tak dikenal
separo hatinya telah membusuk
Ada kalanya, dari setumpuk tulisan cerdik pandai yang dipanggil puisi
menjulurkan kepala
seperti seekor lalat yang nongkrong di atas sampah
Alih Bahasa : Zhou Fuyuan
于而凡 译
Puisi Puisi Nirwan Dewanto
尼尔万•忒万道的诗
Malam Pengantin Gaya Pujangga Baru
Perempuan yang bertubuh seluas malam itu
Rajin memecahkan cermin
Supaya bulan
Menjadi ibu bagi wajahnya.
Lelaki yang tenggelam dalam kimono itu
Terpaksa menanggalkan wajahnya
Supaya matanya
Hanyut ke arah bulan.
Penyair yang menampik buah rindu itu
Mengoleskan darah belaka
Pada sajaknya yang keseribu satu
Yang masih saja membulan.
Wahai pasangan yang lekas layu
Lekaslah tamatkan bulan
Supaya esok si penyair mencuri
Sepucuk bedil di tangsi polisi.
新文豪式的新婚夜
那躯体宽如夜的女子
勤奋地敲破镜子
希望月亮
成为她面容的母亲
那淹没在和服的男子
无奈地脱掉他面孔
让他的眼睛
往月的方向漂移
那拒绝相思子的诗人
只收集血水
在他第一千零一首
仍然融月的诗歌
呜呼那么快憔悴的伴侣
快把月亮结束
让明天诗人盗窃
警营里的一把枪
Alih Bahasa : Zhou Fuyuan
于而凡 译
Kuintet
Namaku piano, dan bebilahku lelah oleh jemarimu.
Namaku klarinet, dan mulutku mencurigai mulutmu.
Aku teramat haus, tapi telingamu hanya menatapku.
Baiklah, di bawah sorot lampu akan kupuja sepatumu.
Di depan kita, mereka yang hanya membawa bola mata
Mengira kita pasangan yang serasi meninggi menari.
Tapi namaku biolin, dan betapa dawaiku sudah beruban.
Dan kau masih hijau, masih menghapal khazanah lagu.
Mereka bertepuk tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba
Dari balik lambungku, siap menyadap madu di lehermu.
Ternyata namaku kontrabas, dan aku jirih pada pujian.
Mereka memacumu ke puncak penuh karangan kembang.
Maka namaku masih marimba, dan kuseret kau ke danau
Di mana si komponis buta rajin mencuci telinga mereka.
Kubisikkan keinginanku kepada peri kupu-kupu
agar disampaikan kepada langit dan dikembalikan
sebagai keindahan
Ia pun samadi di atas kelopak kembang
menggendam tenaga purba dari delapan penjuru mata angin
Angin berdesir, daun-daun bergoyang, sukmaku melayang
Dari ketinggian yang luas tanpa batas
kusaksikan tubuhku menyerpih bagai anyaman kapas
Aku lahir kembali ketika di sudut gelap puncak Acropolis yang kelam
seekor kupu-kupu meninggalkan kepompong dengan sayap kusam
Pijar api di genggaman Prometheus telah lama padam
Alangkah kasihan! Lalu Dewi Pelangi yang terharu
menangkupkan selendang suteranya ke pundakku
Aku pun terbang ke Timur, ke sumber cahaya
hinggap di gigir Tembok Besar, memandang hijau hutan
liku-liku lembah, tebing-tebing cadas coklat-kemerahan
Nun di bawah ladang yang tandus, tak jauh dari Gunung Li
kusaksikan laskar terakota dengan tubuh kaku dan paras pasi
seolah hendak mengabarkan padaku: kematianlah yang abadi
Alangkah kasihan! Lalu kukepak sayapku dan angin bernyanyi
merasuki tubuh para prajurit itu dan seketika bernafas kembali
Mereka menyebar ke dusun-dusun pinggiran Provinsi Shaanxi
hidup bahagia sebagai petani, dan ketika musim tanam berlalu
sebagian menggambar atau menulis dongeng tentangku
Bersama arwah orang-orang yang gugur demi cinta
di bukit-bukit sunyi bagian bumi selatan dan utara
kuarungi angkasa Pasifik, belanga agung yang haus kehidupan
Taifun kabut dan badai salju kujadikan titian
Di padang-padang gersang benua baru
di antara gerumbul kaktus dan semak perdu
aku terlempar bagai sebutir kerikil batu berbercak darah
Alangkah kasihan! Lalu Roh Agung meniupkan nafas dari surga
dan jadilah aku duta penyampai mimpi kaum berwajah merah
Menjelang musim panas tiba, kuluruhkan seluruh warna
pada sayapku yang tembus pandang mereka membaca cuaca
Peluhku menjelma hujan
dari dakiku tetumbuhan bersembulan_
Bila kutangkupkan sayap-sayapku
musim dingin datang, nafas putihku menaburkan serbuk salju
Para prajurit memujaku sebagai titisan pahlawan pemberani
para orang tua pilih bersunyi diri bersamaku sebelum mati
agar arwah mereka bahagia dan kembali
sebagai kupu-kupu, dan ketika kupu-kupu mati
sampailah mereka ke Kosong Abadi
Arwah para pencinta ini
mereka merindukan kobar api
mendamba moksa dalam nyala
meluruhkan yang busuk dan sia-sia
Mereka pun ingin menghibur diri dengan bernyanyi
seperti pernah mereka lakukan bersama para Siren di lautan
atau menari bersama Sembilan Muse di angkasa dan daratan
Demi menghormati kaum burung, aku memilih diam
diam-diam hinggap di kelopak bunga menghisap madu
atau melayang tenang lalu bertandang ke ruang tamumu
Bila kau baik padaku, akan kubawakan mimpi ke tidurmu
dan bila kau berkenan membisikkan keinginan
akan kusampaikan ke langit, agar dijelmakan
sebagai keindahan